Sabtu, 10 Mei 2014

Sudah diikutsertakan lomba : Cinta Halal



“Aku mencintaimu karena Allah.” Itu ucapmu sore itu kepadaku.

Aku tercengang, tak mengerti mengapa kau berani sekali menyatakan cintamu itu kepadaku. Ku fikir, ah ini hanya candaanmu saja padaku. Karena sejak awal kuliah kita memang dekat. Dan semakin dekat ketika kau sudah hijrah dari kehidupan lamamu dan kita seorganisasi di kampus.
Perdebatan sore itu pun terjadi. Aku bergegas pergi meninggalkanmu dengan membawa amarah. Namun, marahkah aku padamu? “Agrrhhhhh aku tak tau”.

“Nin, makan yuk. Aku lapar” ajak aisyah. Lamunanku pun buyar seketika

“HmmM… sebenarnya aku malas sih. Belum lapar soalnya” ucapku setengah hati

“Ayolah Nin, kamu tidak kasihan apa melihat aku kelaparan seperti ini?” rayu aisyah. Kalau sudah begini, aku mana mungkin tidak bisa menolak ajakan teman seperjuanganku yang satu ini.
Kami pun bergegas menuju kantin yang letaknya terpisah dengan gedung kuliah. “Kita lewat tangga ini aja ya, Ai. Aku mau fotocopy dulu sebentar” ajakku sambil menarik lengan aisyah yang hampir jalan lurus ke arah tangga lainnya.

“Oke sip, Neng”

Usai fotocopy kami pun melanjutkan perjalanan menuju kantin Fakultas para raja. Fakultas Teknik. Kami pun melewati Mushalla Baitul Bashna’. Mushalla yang menyimpan sejarah antara aku dan kamu. Di mushalla itulah kamu mengutarakan isi hatimu. Saat itu hanya tersisa aku, dinda dan kamu. Hanya saja saat itu dinda tengah sibuk membereskan peralatan usai acara. Sehingga dia tidak mendengar pembicaraan kita.

Aku pun tidak berani melirik ke jendela ruangan mungil itu. Aku memilih terus bercerita sepanjang jalan menuju kantin dengan Aisyah.

“Kayaknya ramai di kantin Ai. Bakalan gak dapat tempat duduk nih kita” ucapku sedikit pesimis “Bungkus aja ya Ai. Kita makan di ruang Tugas Akhir saja” tawarku

“Tenang, Nin. Kamu jangan pesimis gitu. Lihat tuh, si Andi dan teman-temannya sudah siap mau bangun” ucap Aisyah

Jlep.. “Aisyah tak tahu yang ku rasakan. Aku sengaja menghindari pertemuan dengannya dan kini, dia ada di sini dan Aisyah membawaku di keadaan yang rumit. Duhh… hati, tenanglah. Huuuuft.”

“Ai, kamu duduk aja duluan, aku mau pesan Mie rebus dulu. Kamu pesan apa? Biar sekalian aku saja yang mesanin” tawarku, untuk mengalihkan diri.

“Aku pesan Omelet saja. Pedas dan pakai daging juga ya.”

“Oke”

Dari balik kaca etalase kue. Kulihat kamu berbincang lama dengan Aisyah. Aku tak tahu apa yang kalian bahas. Yang paling penting bagiku, selama kamu masih ngobrol dengan Aisyah, bagaimana caranya aku bisa berlama-lama di samping abang penjual mie dan omelet, yang letaknya bersebelahan.

Ya Rabb..
Inikah perihal hati..
Mengapa susah sekali untuk menjaganya.
Mengapa harus ada ruang di hati selain cinta kepadaMu
Bantulah hambaMu ini, Ya Ilahi
Bantulah hamba mengingatkan ia bahwa cara kami salah selama ini
Agar ia tak merasa terlukai dan aku pun tak melukai
Karena kami adalah saudara seiman dan seperjuangan
Yang masih banyak amanah yang harus kami selesaikan

Setelah yakin kau benar-benar tak lagi bersama Aisyah, aku pun menghampiri aisyah yang sedari tadi menungguku kelamaan.

“Kamu kok lama kali memesan Mie dan Omelet, Nin” Tanya Aisyah penasaran

“Ahh enggak, tadi lihat teknik abang yang buat omelet.” Jawabku. Maafkan aku Ai, aku tak mungkin menceritakan perihal ini kepadamu. Aku tak ingin kamu berfikir macam-macam tentang aku dan Andi. Biarlah ini menjadi bagian dari kisah kami saja.

“Oya, tadi Andi nanyain kamu. Dia bilang, besok Pak Eko ke kampus pukul 09.00 untuk bimbingan ma kalian” cerita Aisyah

“Oh.. Oke” Ucapku sekenanya

“Kamu sama Andi kenapa Nin? Kok tumben-tumbenan kamu bersikap dingin gini? Kan kalian satu bimbingan, dari dulu sering barengan. Koq sekarang terkesan uring-uringan sih?” selidik Aisyah yang mulai penasaran karena sikapku yang agak berubah.

Yah.. bagaimanapun aku menutupi, tetap akan terbaca. Ayolah Nindi, santai dan biasa aja. Batinku

“Tidak. Gak ada apa-apa kok. Kamu aja yang terlalu perasa. Biasalah aku lagi badmood mungkin mau dapet kali” jawabku mencoba bersikap sewajarnya.
***
“Nin, ayoo ke ruang Pak Eko” ajak Andi yang sudah standby menggenggam bundelan kertas yang berisikan gambar-gambar.

“Oke, aku nyusul” jawabku sambil menggulung gambar milikku

“Oke, aku tunggu di Jurusan ya” tawarnya

“Sip”

“Cieeeee kompaknya ibu dan bapak arsitek ini?” Goda Reno

“Ya donk. Mereka gak hanya teman sayembara, tapi mereka rekan seperjuangan yang the best deh” puji Aisyah.

“Sudah-sudah. Aku mau Assistency dulu” ucapku sambil mengejar langkah Andi

“Cie…. ciiiiieeeee” masih terdengar suara godaan dari teman-teman
*** 
Banda Aceh, 17 Maret 2013
Assalamu’alaikumwrwb. Af1, Nin. Maafkan aku yang tak bisa meredam perasaanku kepada kamu. Jujur, Aku selama ini telah menyimpan rasa untuk kamu. Apalagi setelah kamu berhasil membawaku ke kehidupan yang lebih bermakna. Mengenalkanku tentang dakwah, tentang menjadi pribadi muslim sejati.

Aku tahu, mungkin aku tak pantas untuk cinta kepada kamu. Aku merasa tak sebanding dengan kamu yang telah terlebih dahulu mengeyam indahnya menjadi muslimah sejati. Dari balutan pakaianmu, yang tak sama dengan umumnya pakaian yang dikenakan wanita biasanya, aku menemukan ketentraman. Aku merasa ada sesuatu yang harus ku perjuangkan dan ku jaga. Yaitu kehormatanmu.

Maafkan aku yang terlalu cepat mengutarakan isi hati. Aku tau tak sepantasnya kata itu ku ucapkan kepadamu sore itu. Andai saja, aku dapat menarik kembali kata-kata itu untuk tetap berada di hati ini. Mungkin, saat ini tak ada jarak pemisah antara kita yang begitu kentara. Mungkin kamu masih menganggapku sebagai partner sayembara, teman seangkatan, rekan seorganisasi dan lain sebagainya. Tapi, itulah khilafku.

Aku mengakui kesalahanku. Karena itu, aku memberanikan diri menuliskan surat ini untukmu, sebagai permintaan maafku kepadamu. Oya, aku telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari organisasi ini, karena aku merasa tak layak bila aku ada di sana. Aku takut adanya aku di sana, dapat mengotori azzam yang mulia dari organisasi tersebut.

Kamu tenang saja, aku telah nyaman dalam dakwah ini. Aku tetap mengaji seperti pesanmu untuk tetap mengaji. Kalaupun Amir tidak mengizinkanku mengundurkan diri, aku meminta posisiku diganti menjadi anggota bidang saja, tidak lagi menjadi ketua bidang. Dan ku harap kamu mau memaafkan aku.

Biarlah kata “Aku mencintaimu karena Allah” kemarin tetap ada. Aku tidak mau menarik kembali kata itu. Karena kamu juga saudara seimanku. Walaupun yahhh aku tau konsekuensi yang berlaku.
Tetaplah istiqamah. Tegurlah aku jika salah. Semoga persahabatan kita berkekalan.
Maafkan aku,

Wassalamu’alaikumwrwb.
Sahabatmu, temanmu yang dhaif
Andi


Aku masih menyimpan surat darimu. Sekarang, lima bulan setelah kita wisuda bulan Mei silam. Kini kau kembali mengucapkan kata cinta itu. Hanya saja kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Kau nekad datang ke rumahku di kampong untuk menemui Ayah dan Ibuku. Untung saja, ucapan itu tidak secara langsung ku dengar. Itu di sampaikan oleh ibumu kepada ibuku. Saat kamu datang ke rumah. Dan ibukulah yang menyampaikan kata itu.

Aku terkejut. Dan lagi-lagi aku terkejut. Mungkin, kau memang jawaban dari hasil istikharahku. Karena entah mengapa, aku merasa mantap dipinang olehmu. Dan orang tuaku pun mendadak merestui lamaranmu, padahal sebelumnya tiga orang yang telah mendatangi ayah dan ibu ditolak. Mereka beralasan, masih menginginkan aku bersama mereka, karena aku putri bungsu mereka. Dan ketika keluargamu hadir, semua itu berbeda.

Kali ini aku tidak ikut campur. Biarlah komunikasi antara kita terjalin lewat keluarga besar kita  saja. Kau pun menyetujui itu. Tapi, orang tua kita belum faham dan belum mengerti tentang adat dan cara yang kita pakai. Sehingga aku pun harus meminta sepupuku Della untuk berkomunikasi denganmu.
***

“Nindi, Bagaimana persiapan pernikahan kalian? Apa lagi yang kurang? Kapan kamu pulang ke rumah, Nak?” Tanya ibuku

“Aku belum bisa pulang, bu. Mungkin seminggu sebelum hari H aku bisa pulang. Untuk baju dan segala perlengkapannya, aku percaya sama ibu aja. Aku juga sudah meminta bantuan Della kok bu. Soal ukuran, ukuran aku dan della beda-beda tipislah, bu. Oya, bagaimana persiapan di rumah, bu?”

“Duh, kamu ini, Nak. Yang mau nikahan siapa? Yang repot siapa? Baiklah, Nak, jaga kesehatan ya. Bilang sama bos mu, waktu nikahanmu nanti bosmu harus datang ya ke Langsa” Pesan ibu

“Siap ibu..” Jawabku sambil cengengesan

“Oya, Nin. Si Andi kata ibunya sedang di Banda Juga lho. Cobalah kamu tanyai kabarnya.” Perintah ibu

“Hah.. iya bu, nanti Nindi suruh tanyai sama, Della” ucapku ceplos

“Waduh.. kamu ini. Calon suami siapa? Yang perhatian siapa? Hati-hati Nin, nanti Della pula yang kecantol dengan Andi.” Omel ibu panjang lebar sambil bercanda. Ibu tau, tak mungkin Della begitu. Kalaupun terjadi, biarlah. Berarti dia bukan jodohku. Bisikku dalam hati demi menjaga interaksi.

Belum lama panngilan dari ibu berakhir, hp-ku kembali bordering. “Wahhh.. Mamanya Andi?, Ya Rabb.. apa yang harus ku lakukan. Kalau Ibu sih, aku bisa berterus-terang, kalau Della yang berkomunikasi selama ini dengan Andi. Tapi? Kalau mamanya Andi?.. hadeuhh”

“Assalamu’alaikumwrwb. Iya, tante” Sapaku

“Wa’alaikumsalamwrwb. Nindi, sehat, Nak? Bagaimana, apa yang belum di beli? Tante sudah nitip uang ke Andi, kebetulan dia di Banda sekarang. Untuk isi parcelnya, kamu aja yang beli, sesuai permintaan kamu. Biar pas dan gak salah. Andi sudah hubungi, Nindi?” pertanyaan dari ibunya Andi sangat keibuan.

“Alhamdulillah sehat, Tante. Tante sekeluarga sehat juga kan?. Iya tante, Nindi sudah tahu kalau Andi di sini. InsyaAllah nanti Nindi ketemuan dengan Andi” jawabku

“Oh, iya, kalau kamu belanja. Minta saja Andi temanin. Biar gak berat. Satu lagi, Nindi, harus membiasakan diri manggil abang, atau apalah. Jangan panggil nama lagi. Kan kalian mau menikah dua minggu lagi” pesan Tante Mila

“hhe.. iya tante” jawabku cengengesan.
***
Duhai maha mencintai
Benarkah langkah hamba ini engkau ridhai
Apakah aku tidak salah
Aku takut, bila pernikahan ini menjadi fitnah bagi dakwah ini
Walupun aku juga mencintai dia
Tapi, aku mencintai dia karenaMu
Dan aku mengutarakannya hanya kepadaMu semata

Aku takut karena aku dan dia adalah teman dekat
Sehingga takut mereka beranggapan bahwa selama ini kami pacaran
Padahal engkau tahu
Bahwa aku dan dia adalah teman seangkatan
Yang tak bisa ku pungkiri
Interaksi kami pun sangat intens
Tapi, dalam organisasi itu
Kami benar-benar menjaga diri
Sebisa mungkin menjaga interaksi

Apakah kami termasuk munafik, Ya Rabb?
Di sisi lain dengan riangnya kami bercanda
Namun lain sisi, kami begitu rapt menjaga diri

Ya Rabb.. jika ia memang yang patut ku cintai karenaMu
Izinkanlah hamba mencintai dia karena Mu
Agar kami dapat sama-sama memperbaiki diri
Atas seciul niat berbuat dosa yang ada dalam hati

Ya Rabb.. Tinggal 9 hari lagi
Hilangkanlah keraguanku untuk menyempurnakan dien
Hilangkanlah keraguanku atas sangkaan yang akan muncul
Bantulah hamba menjawab dengan tenang, bila sangkaan itu datang

Ya Rabb..
Cinta itu tumbuh dengan sendirinya
Semakin dekat Hari itu
Semakin rasa ini bertambah tebal 1mm
Bantulah hamba untuk terus menjaga diri dan hati
Hingga sampai hari yang di nanti
Dan di hari itu,
Aku juga akan mengutarakan isi hatiku padanya
Bahwa
Selama ini aku pun juga ‘Mencintainya karena Engkau, Ya Allah’
Dan Egoku selama ini
Adalah caraku untuk menjaga cinta yang ada dalam hati
Agar sampai ke hatinya di waktu yang tepat
Waktu yang telah engkau jadwalkan untuk aku dan dirinya.
Aaamiin

Ku tutup mlamku dengan panjatan do’a. Yah, tak perlulah kita berkomunikasi saat ini, biarlah kita menyibukkan diri dekat dengan Allah. Dan biarlah Allah yang menggerakkan semuanya, melalui perantara orang-orang terkasih di sekitar kita. Agar cinta yang tumbuh dan tumbuh ini akan mekar pada hari bahagia.
***

“Cut Nindy Kautsaria binti Abdul Ghazali, Aku mencintaimu karena Allah” Bisikmu saat di pelaminan
Seerrrr… Ada getaran yang menyelinap masuk dalam hatiku. Aku tak bisa menutupi semunya wajahku yang malu. Kau pun seakan tahu itu. Dalam genggaman tanganmu kini, aku merasakan kedamaian dari untaian kata cinta yang hakikatnya indah. Berbeda dengan ucapan cintamu sebelumnya, yang membuat diriku resah dan gundah. Karena saat itu, kau belum menjadi bagian dari hidupku yang direstuinya.

“Aku juga mencintaimu karena Allah, Bang” saat itu, mata kita beradu pandang. Panah-panah iblis tak mampu lagi merasuki hati kita. kini hujan pahala yang kita tuai. Senyummu begitu indah dan menyejukkan. Aku sangat, sangat dan sangat merindui senyumanmu yang sempat hilang karena kejadian sore itu, Bang.
Kini kau tak lagi teman seperjuanganku, teman seangkatanku. Tapi kau kini telah menjadi Imamku. Imam yang menuntunku menggapai cintaNya.

Ucapan selamat bertubi-tubi datang, mereka sangat bahagia mengetahui aku dan bang andi kini telah resmi menjadi pasangan suami-istri. Aku sangat salut dengan kesungguhannya. Di usianya yang terbilang muda, ia menyelamtkan hidupku dari fitnah dunia dengan mengajakku menikah.

Yah, Aku benar-benar mencintaimu karena Allah, duhai suamiku
Wahai Ilahi Rabbi yang Maha mencintai
Terimakasih kau telah menghimpun kami menjadi Satu
Kokohkanlah kami
Balutlah kami dengan cintaMu
Agar cinta kami tak menutupi cinta kami kepadaMu
Ya Rabb..
Cinta yang halal memang berbeda rasa dengan yang bukan
Terimakasih ya Rabb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan kenang-kenangan setelah anda berkunjung walau hanya sebait sapa.. :)

 
;