Sabtu, 10 Mei 2014

Pernah diikutsertakan 'Lomba Tulis Nusantara' (Belum Rezeki) : Rugi Jadi Anak Aceh



“Rugi jadi Anak Aceh, tapi belum keliling Aceh Sha. Udah ikutan Baksos terus”. Ujar seorang teman yang juga merupakan rekan kerja di organisasi kampus. Alfi.

“hmmM, kamu bilang begitu bukan karena kamu lagi maksa aku ikut baksos kan Al?” tanyaku pada lelaki yang tengah sibuk menunggu lembar demi lembar yang meluncur dari mesin printer.

“yeee GR kamu sha. Ngapain juga aku maksa kamu ikut baksos? Lagian kalau pun kamu ikut, toh kamunya gak se-team denganku.” ledek Alfi

“Nih, jilid proposalnya.” Lelaki berkacamata itu pun menyodorkan lagi setumpuk proposal yang harus ku jilid.

_Wahai Ayah dan Ibu, dengarlah rintihan anakmu, bimbinglah diriku ini, di jalan yang penuh berliku_ terdengar deringan nada telepon dari dalam tas yang menghentikan perhatianku pada proposal yang disodorkan Alfi. Aku pun memberi kode pada tia untuk membantu Alfi menjilid proposal baksos itu.

“Hallo, Assalamu’alaikum Bah” sapaku pada sosok lelaki disana saat ku angkat telepon itu

“Wa’alaikumsalamwrwb. Kiban[1] dek, sehat?” Tanya Suara lelaki di seberang sana yang ku panggil Abah[2]

“Alhamdulillah sehat bah. Abah kiban, sehat?” jawabku, yang kemudian balik bertanya tentang kabar Abah

“Alhamdulillah Abah dan mak sehat. Jadi pergi baksosnya dek?” Tanya Abah
Hah, aku terperanjat mendengar pertanyaan Abah. Bukannya telepon sebelumnya Abah tak setuju kalau aku ikut baksos. Jangan-jangan ini adalah sinyal Abah mulai mengizinkanku. Aku pun langsung menjawab “Jadi Bah, insyaallah malam minggu ini berangkat. Adek boleh pergi kan Bah?” aku mencoba memastikan kembali apa putusan yang akan diberikan Abah.

“Iya, Abah izinkan. Pergi aja. Hati-hati, jaga diri baik-baik disana. Ingat, jangan sembarangan di kampung orang. Kalau gak ada uang biar Abah kirimkan besok.”

hmmM.. pernyataan Abah itu sangat menentramkan hatiku. Menjawab semua kegalauanku yang diamanahkan menjadi Koordinator divisi Keagamaan di Baksos ini.  Memang Abah itu sangat bijaksana. Batinku

“Siap komandan! Makasih banyak Bah, gak usah kirim uang lagi Bah. InsyaAllah masih ada uang jajan kemarin. Lagian semua akomodasi ditanggung pihak kampus.” Jawabku sebelum telpon ditutup oleh Abah.
Aku pun berjalan menghampiri Tia dan Alfi yang kini tak lagi menjilid Proposal tapi telah beralih membantu teman-teman yang lain mengemas-ngemas barang yang akan dibawa baksos.

“Bahagia banget Sha, kelihatannya. Cieee telpon dari siapa?” Goda Raihan ketua BEM yang juga merupakan teman seangkatanku di Jurusan Arsitektur.

“Hhaa.. Alhamdulillah aku diizinkan ikut baksos. Jadi mari kita semangat.” Ucapku sangat bahagia dan menggebu-gebu

“Alhamdulillah” semua pun meng-koor-kan kalimat hamdallah
***

Sejak pukul dua dua siang semua relawan sudah standby di rumah peradaban kampus. Yah kami menyebut itu untuk kantor BEM Unsyiah. Ruangan yang merupakan bagian dari gedung Gelanggang Mahasisawa yang menjadi pusat beragam kegiatan mahasiswa Unsyiah.

Semua barang yang akan di bawa sudah dibagi sesuai dengan daerah baksos yang telah ditentukan. Ada 3 titik. Yang pertama itu, daerah Burlah kecamatan Ketol, Takengon. Aceh Tengah. Yang kedua dan ketiga, di pedalaman  Meulaboh, Aceh Barat. Dan kebetulan aku masuk dalam bagian daerah pertama. Yaitu takengon. Yang dipimpin oleh Koordinator Titik alias KorTik Rian Septiandri dan Cut Kayla. Sedangkan Alfi Pratama dan Delia Nabilla memimpin titik dua. Dan untuk titik tiga dikomandoi oleh Herman Ramadhan dan Syafa Az-zahra.

Rencananya Pukul 16.30 Bapak Rektor akan melepas keberangkatan kami untuk mengabdi dalam rangka menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh BEM Kampus selain dari agenda KKN (kuliah Kerja Nyata) yang merupakan mata kuliah wajib yang ada di kampus.
***

Jujur ini merupakan perjalanan pertamaku ke Kota yang sering dijuluki Negri di Atas Awan. Karena kota yang membuat para pendatang ingin berkali-kali ke tempat ini, merupakan kawasan daratan tinggi yang hanya sejuknya mampu membuat gigi kita gemetaran, setiap bulu itu tegak berdiri karena dinginnya kota ini.

Walaupun Takengon merupakan bagian dari Aceh, tapi bahasa yang digunakan tidaklah sama dengan bahasa Aceh secara umumnya. Keanekaragaman bahasa di Aceh menjadikanku kadang merasa terasing dengan teman-teman yang dari beragam daerah. Misalnya saja, saat aku berbicara dengan teman-teman dari Aceh Ghayeuk (Aceh Besar), mereka kadang tertawa dengan logatku yang menurut mereka tidak ke-Acehan, walaupun mereka mengerti apa yang aku ucapkan.

Konon lagi dengan bahasa jamee, bahasa Gayo. Jelas aku sama sekali tak bisa melafazkan dan mengingatnya dengan cepat apalagi mengerti apa yang mereka maksud. Bersyukur, sebelum berangkat aku sempat belajar sepotong-sepotong bahasa sehari-hari dari teman sekosanku. Hana Keber[3], Gere Beteh[4], Ara[5], Jroh[6], Enti kiroh[7] dan beberapa kosa-kata lain yang sempat ku hafal. Setidaknya samapai disana aku bisalah memulai percakapan dengan warga disana.

HmmM.. Aku masih mengingat beberapa cerita dari Nikite adik kosanku. ”kak Ayyasha, sebenarnya desa yang kakak kunjungi untuk baksos itu desa yang termasuk kuat magicnya lho kak. Makanya agak hati-hati ya kak disana. Jangan terlalu dekat-dekat kali dengan warga nanti gak dikasi pulang lagi takutnya kak”

Sebenarnya, bukan pertama kali aku mendengar cerita seperti itu, dipembekalan awal untuk menjadi relawan baksos sudah sering senior-senior menceritakan hal tersebut. Namun, yach setiap daerah mempunyai cerita mistisnya masing-masing disamping sudah berkembangnya teknologi.

Aku melirik Mirna yang duduk disampingku telah terlelap dalam liukan jalan yang curam. Wah gelap sekali jurang dibawah sana. Dari sorotan lampu mobil belakang aku melihat jurang yang cukup dalam. Bila tak hati-hati mengemudi dan memperhatikan pembatas jalan, bisa-bisa mobil ataupun kendaraan yang lain bisa melayang terjun bebas ke bawah.
***

Pukul 04.40 kami telah sampai di Mesjid Raya Ruhama yang berada di pusat kota Takengon. Disebelah kanan Mesjid, berdiri bangunan megah yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan di Kabupaten Aceh Tengah ini.

Selapis jaket tak mampu menghangatkan badan dari dinginnya kota ini. Aku membuka koper untuk mengambil sebuah jaket lagi. UhhmmM.. gemeretek gigi tak karuan, asap mengepul kejar-kejaran keluar dari mulut. Wow.. ini tak sebanding dengan dinginnya di Brastagi.

Azan Subuh mulai berkumandang, tapi kaki masih saja enggan beranjak ke kamar mandi. Apalagi mendengar keluhan teman-teman yang sudah duluan ke kamar mandi, rasanya ingin bertayamum saja untuk shalat subuh. Namun ku paksakan kaki melangkah ke kamar mandi. “huhuhuhu dingin sekali” ucapku. Tak ada niatan untuk berlama-lama di kamar mandi.

Usai shalat subuh, kami masih lontang-lantung di seputaran Mesjid Ruhamah. Karena pukul 09.00 kami baru disambut oleh bapak bupati untuk mendapat izin dan petuah sebelum berangkat ke Kecamatan Ketol, tepatnya Desa Burlah.

Dari hasil penjelasan pak bupati, Ketol itu berarti cacing. Entah karena dulu banyak ditemukan cacing sehingga desa itu diberilah nama ketol atau ada alasan lain. Yang pasti saat itu aku sedah larut dalam dinginnya kota ini, ditambah dengan dinginnya pendingin ruangan yang dipasang di ruang ini, sehingga semakin menggigillah aku yang tak terbiasa berada di daerah bersuhu dibawah 15derjat, jadi aku tak mendengar secara gambling penjelasan pak bupati. Yang jelas sebentar lagi kami akan dibawa ke desa burlah.
***

Ini merupakan pemandangan yang bagus. Kami seperti diangkut ke langit. Di bawah sana terhampar rumah-rumah penduduk, danau laut tawar yang terkenal itu bisa kami nikmati dari atas bukit yang berkelok-kelok. Wewangian pakis hutan yang tumbuh dipinggiran bukit menambah kesan alaminya desa ini.
Sekitar enam jam dari kota takengon menuju desa burlah. Jalan yang belum teraspal, ditambah lubang dimana-mana membuat kami mengalami guncangan hebat didalam mobil. Sesekali terdengar jeritan dari belakang “Aduhhhhh!” Ternyata tumpukan tas yang bertingkat sesekali berjatuhan menimpa mereka yang duduk di belakang.

“Ini dia desa baksos kita, nah yang bagian pendidikan, sekolah ini jadi markas kalian.” Jelas Rian.

“Wah, sudah ada jembatan rangka baja ya disini” ucap deni selaku coordinator infrastruktur takjub.

“Nah, itu rumah Pak Reje” Tunjuk Rian

“Hah.. Pak Reje?” Tanya kami semua serentak

“hehe, Pak Reje adalah Pak Geuchik” Jelas Rian sambil senyum-senyum.
Kami hanya mengangguk-ngangguk sambil membulatkan bibir dan mengeluarkan bunyi oooo secara serempak dan panjang.

Semua warga telah ramai memenuhi pekarangan pak reje alias pak geuchik. Yang wanitanya dengan memakai sarung yang memilit pada pinggang sebagai rok, dan kain panjang yang dililit di leher untuk menutupi kepala layaknya kain yang dipakai pemangkul kayu. “wahh sangat sangat jauh tertinggal” batinku

Semua barang diturunkan di rumah yang tak jauh dari rumah pak geuchik. Rumah kayu yang masih beralaskan tanah. Rumah ini yang akan ditempati oleh relawan laki-lakinya. Sedang kami harus mendaki keatas kira-kira memakan waktu tempuh 10 menit berjalan kaki. Dengan memapah barang yang beratnya minta ampun akhirnya kami berhenti di sebuah mushalla mungil yang tampak seperti tak terawat. Aku jadi ingat kata Rian sebelum aku mendaki ke atas. “Disebelah kanan nanti ada sebuah mushalla. Itulah basecamp kalian, bidang kerohanian”.

“Nah ini dia rumah kakak. Kalian boleh istirahat disini” ucap kak Dauriah adiknya pak geuchik. “Ini anak kakak, Dea” ia mengenalkan anak kecil berumuran 3 tahun yang baru saja pulang bermain.

Di Rumah tipe 36 inilah kami tinggal. Rumah ini lebih elit dari rumah yang lain, karena ini satu-satunya rumah permanen. Rumah bantuan karena adiknya pak geuchik seorang janda yang tak punya tempat tinggal. Untuk 7 hari rumah ini dihuni oleh dua puluh orang. hmmM bisa dibayangkan gimana rasanya kan?
***

Sudah empat hari kami disini. Kembali ke alam. Untuk mandi kami harus menempuh waktu 5 menit menuruni bukit ke sungai. MCK yang tak ditemukan disini. Sehingga relawan yang laki-laki membuatkan MCK seadanya untuk kami. Sinyal telepon yang susah. Untuk berkomunikasi dengan teman-teman di luar daerah dari penginapan relawan yang perempuannya mudah. Tapi untuk menghubungi relawan laki-lakinya dibawah sangat susah. Ditambah listrik yang kalau malam tidak hidup. Benar-benar hidup seperti di kota mati.

Seperti beberapa hari sebelumnya, setelah mushalla ini kami hidupkan kembali aktivitasnya. Usai shalat magrib berjama’ah aku dan teman-teman kerohanian mengadakan belajar mengaji untuk ibu-ibu dan bapak-bapak. Sedang untuk anank-anak pukul 14.00-18.00 kami membuat TPA. Entah mengapa malam ini aku merasakan keanehan.

Kak Dauriah tiba-tiba pamit pulang. Wajahnya tampak pucat, ia buru-buru pulang ke rumah ditemani nana yang juga ingin mempersiapkan makan malam.

Usai Shalat Isya berjam’ah, aku pun bergegas pulang. Aku pun menghampiri kak Dauriah yang sedang tidur di kamarnya. Ditemani Cut Kayla, aku mencoba membangunkan kak Dauriah. “Kak, kenapa sakit ya?” tanyaku

“Iya dek, badan kakak sakit” ucapnya lirih

“Sini kak biar Ayyasha urut” tawarku

Entah mengapa aku memberi tawaran itu. Padahal aku sangat malas untuk mengurut orang lain, karena biasanya setelah urut orang lain maka badanku lah yang sakit-sakit akhirnya.

Kak Dauriyah pun mengangguk tanda mau ku urut. Sambil bangun, tiba-tiba ia menangis. “Dek, badan kakak sakit semua rasanya. Malam kemarin kakak bermimpi, badan kakak di potong delapan bagian.” Ia bercerita sambil terisak-isak.

“Iya kak, gak apa-apa. Itu cuma diganggu setan aja kak” jawabku mencoba menghibur

“Enggak dek, abis mimpi itu badan kakak sakit semuanya. Dan yang potong badan kakak itu pak Sobran” cerita kak Dauriah penuh keyakinan

“Hah, pak sobran?, gak mungkin pak sobran tega kak ngelakuin itu. Pak sobran sangat baik kak, beliau yang membantu kami membereskan mushalla diawal kedatangan kami” lagi-lagi aku mencoba membuatnya tenang 

“iya dek, bapak itu jahat. Ia dukun di kampong ini”

“hah, gak mungkin ah kak, itu hanya kerjaan setan aja kak untuk mengadu domba kakak dengan pak sobran. Sini kak biar Ayyasha urut” paksaku

Diantara tangis kak dauriah yang ku dengar seketika pikiranku mengajakku untuk mengingat saat-saat berkenalan dengan pak sobran pagi pertama kami tiba di desa ini. Lelaki paruh baya yang tak banyak bicara namun disukai oleh anak-anak TPA ini sangat rajin shalt berjamaah dengan kami para relawan. Bahkan bisa dibilang, beliaulah orang pertama yang membantu team kerohanian membenahi mushalla kecil itu.

Raut wajahnya memang mengerikan. Bopeng-bopeng diwajahnya membuat ia terlihat menyeramkan memang. Tapi aku masih tidak percaya beliau itu dukun seperti yang diceritakan kak dauriah.

Sambil mengurut kak Dauriah, aku menyelipkan Al-fatihah dan beberapa potongan ayat serta zikir dengan pelan. Hanya terlihat komat-kamit dari mulutku. Belum apa-apa kak Dauriah sudah lelap tertidur. Mungkin karena pijatanku yang enak ya. Batinku dengan sedikit memuji diri.

“Sha, kok tidur? Jangan-jangan ini bereaksi” ujar Kayla

“hah, reaksi gimana la?” tanyaku bingung

“kamu ngurut sambil ngaji kan?” selidik kayla

“he eh.. aku bacain Al-fatihah dan Surat Al-baqarah” jawabku

“Nah, kayaknya ini memang unsur guna-guna Sha. Kamu berani menruqyah beliau” Tanya kayla mencoba memastikanku

“Apa boleh dikata. Aku berani-berani aja, tapi kamu berani gak? Gak mungkin aku sendirian” jelasku

“yaudah, bangunin aja dulu kak Dauriahnya. Suruh wudhu dulu. Aku bangunin teman-teman yang lain, biar kita bawa kak Dauriah ke ruang tamu aja.”

“kak, bangun kak.”
Tak perlu lama-lama membangunkannya. Aku pun langsung membantu mendudukkan kak Dauriah. “dek, badan kakak sakit” ucapnya sambil menangis

“Iya kak, iya.”

“dek, panggil pak geuchik, panggil pak geuchik. Sakit x badan kakak. sakit” perintahnya sambil meraung-raung

Aku mencoba tak menggubrisnya. Yang ku tahu nana sedang sibuk menelpon. Entah siapa yang ia telpon. Yang pastinya relawan laki-laki yang ia hubungi. Aku tetap merapalkan segala bacaan yang aku hafal. Tiba-tiba kak Dauriah menatapku tajam. Kemudian ia muntah seketika dikamarnya.

Ditengah raungannya yang mulai marah, kami membopohnya keluar. Aku pun menginstruksikan kepada semua relawan perempuannya untuk mengaji. Bagi yang tidak bisa mengaji atau lemah bulunya, ku anjurkan mereka untuk tetap berzikir dan jangan terlalu panik.

Tak butuh waktu lama, dan toa mushalla untuk mendatangkan warga. Warga telah berkumpul mengerumuni rumah kami. Ada yang mulai membaca-baca mantra, membawa sesajen dan lain-lain sebagainya. Entah mengapa aku merasa sangat geram melihat tingkah warga yang lain. Aku pun memberanikan diri berkata pada mereka. “pak, bu, biar saya dan teman-teman saja yang mencoba mengobati kak Dauriah”.

Ku lihat ada mata-mata kecewa dari tatapan mereka. Namun, bismillah saja. Tak boleh ada pengotoran aqidah di Aceh. 

Kak Dauriah mulai meraung-raung kesakitan. “keluar kamu dari tubuh manusia ini!” bentakku

“aku gak mau keluar. Hahahaha” ucapnya dengan tawa pongahnya

“kalau kamu gak mau keluar, dengan izin Allah aku akan membakar kamu dengan ayat-ayat Allah ini” tegasku

“Iyaaa… panasssssss… aku keluar”.

“cepat kamu keluar!!!!”

Aku pun tak sendiri. Rizki yang berhasil dijemput oleh warga ikut membantuku mengobati kak Dauriah.

“Kenapa kamu mengganggu wanita ini?” Tanya Rizki

“Aku benci dengan dia. Dia terlalu baik dengan kalian”

“Ki, gak usah Tanya-tanya lagi ki, banyak sekali kebohongan dia. Berkali-kali mau keluar tapi buktinya gak ada. Yook kita baca aja terus” ajakku

“Tidaaakkkk… Ampuuunnnn… Akuuuuu keluar.. uhhhhhhhhh.. panasssssssss”

“Iyyaaaaaa aku mau keluar, tapi aku gak mau keluar. Di situ ada yang nunggu” ia menunjuk kearah pintu dapur

“Ikuti aku. Asyhadualla ilaahaillalah Wa Asyhaduanna Muhammadarrasulullah” tuntunku

“Asyhadualla ilaahaillalah Wa Asyhaduanna Muhammadarrasulullah” Ia pun mengikuti ucapanku

“Nah, sekarang kamu sudah muslim. Kamu gak boleh takut kepada makhluk. Kamu hanya boleh takut kepada Allah pencipta makhluk. Jadi kamu harus keluar dari tubuh ini. Aku tak akan memnita kamu untuk kembali ke empunya kamu. Sekarang kamu itu harus taat kepada Allah. Jangan mau dijadikan pengganggu manusia oleh tuanmu. Bacalah Ayat Kursi dan hadapilah dia yang menghalangi kamu. Kami akan membantu dengan Ayat-ayat Allah juga” ucapku panjang lebar.
Ia pun mengangguk.. “………………………………………………...Wala yaudhuhu hifzuhuma wahuwal ‘aliyyul ‘adzhim. Allahhhhhhu Akbar

“Dia udah gak ada lagi. Aku pamit pulang ya” ucapnya sambil menyalami kami satu persatu. Aku pun menyuruh teman-teman untuk melepaskan tangannya. Ia pun mengatupkan kedua tangannya yang tadi terentang ke dada, kemudian mengarahkannya ke arah kaki. Dan kemudian ia benar-benar keluar.

Alhamdulillahirabbil’alamin” ucap kami serentak

Benar, badanku langsung sakit-sakit. Karena masuk angin. Akhirnya aku pun harus muntah-muntah. Rizki menatapku, “kamu gak kerasukan juga kan Sha?” Tanya rizki, ia tampak sangat khawatir.

“HmmmmM” Aku hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Syukurlah” Ucapnya

“Kami akan nginap di mobil. Kalau ada apa-apa panggil kami ya“.

Aku hanya sanggup mengangguk saja. Sepertinya aku benar-benar sangat letih. Aku sangat sedih, di Sudut Negri yang dijuluki sebagai Negri di Atas Awan atau pun kota dingin ini, ternyata benar, masih banyak mistik yang ada disini. Ahh Inikah Bagian dari Aceh. Setidaknya aku telah tahu masih ada hal-hal semacam ini.
***

Ini adalah hari ketujuh di desa ini. Kami pun harus segera kembali meninggalkan kota dingin ini, dibekali beberapa hasil kebun oleh warga yang telah dibagi rata. Ada tangis yang tak bisa dibendung. Lima hari penuh kami bersama di kampong ini. Kampong yang menyimpan sejuta misteri. Dan hingga hari ini aku belum melihat sosok tua yang pertama kami temui itu. Yah pak sobran. Kemanakah Beliau? Mungkinkah beliau pelakunya? Ahh tidak mungkin.

Saat aku mau masuk ke Mobil, dari depan rumah pak geuchik, aku melihat pak sobran berdiri di halaman mushalla yang tampak dari bawah. Ia menatapku tajam dari ketinggian. Ahh ini bukan Negri diatas Awan lagi bagiku. Ini Desa 1001 Misteri lebih tepatnya.

Deru mobil menjadi penanda bahwa kami telah meninggalkan desa ini. Dan aku masih berharap suatu saat bisa kembali ke desa ini untuk membenahi aqidah mereka. Selamat tinggal Desa kecil yang hanya memiliki 28 KK.




[1] Kiban adalah kata dalam bahasa aceh yang berarti bagaimana. Bisa juga bagaimana kabar, pendapat atau lainnya sesuai kata di depannya.
[2] Abah sama dengan Ayah, Abi, bapak, papi atau papa
[3] Apa kabar
[4] Tidak Tahu
[5] Ada
[6] Baik
[7] Jangan ribut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan kenang-kenangan setelah anda berkunjung walau hanya sebait sapa.. :)

 
;