Rabu, 10 September 2014

4 Tahun Kepergiannya



Tulisan ini, ku tulis untuk mengingat Almarhumah Kak Rika Wahyuni. Murabbi pertama yang mengajarkanku banyak kisah dan membuatku keluar dari sifat manja dan cengengku yang kerap merengek.

8-9-10. Tanggal yang sangat cantik menurutku. Tanggal yang mudah diingat, walaupun tanggal itu adalah waktu yang sangat sedih karena kepergiannya untuk selamanya.

Aku mengenalnya sejak SMP kelas 1. Saat itu, aku didesak oleh kakak ke empatku untuk mengikuti Rohis setiap Jum'at. Padahal saat itu, karena keterbatasan kelas di Sekolah kami, menyebabkan kami yang kelas 1 harus masuk sekolah di jam siang. Itu artinya setiap hari jum'at aku harus pergi cepat melawan arus kepulangan siswa-siswi kelas 2 dan 3.


Beliau sempat beberapa kali mengisi kajian jum'atan di sekolah kami. Dan kedekatan kami pun semakin terjalin, karena beliau teman melingkarnya kakak pertamaku. Alhasil aku pun kenal betul dengan mereka. Pada saat kelas 2, aku pun di angkat menjadi ketua Rohis dan beliau menjadi salah seorang kakak pembina. Yah begitulah pertautan hati kami yang tak begitu spesial mulanya.

Tahun terakhir aku menjadi siswi di SMP tersebut, beliau pun resmi menjadi guru Bahasa Indonesia. Aku sangat bahagia, dan sangking senangnya, aku pun lupa kalau keseringan memanggil 'Kak' padahal di ruang guru banyak guru lain. Walaupun beliau tidak mengajar di kelas kami, tetap saja aku tidak diizinkan oleh beliau untuk memanggilnya dengan sebutan Kak, di sekolah.

Aku sempat kesal kala itu. "Ih... kakak sombong kali, mentang-mentang dah jadi guru" dumel ku kesal. Dan karena kejadian itu, aku pun terbiasa memanggilnya Bu Ika.

Almarhumah jilbab coklat. Sangat sederhana pembawaannya
Aku pun lulus dari Sekolah Menengah Pertama dan masuk ke jenjang seragam putih abu-abu. Dan hal itu, tidak memutuskan silaturahim kami. Kami masih bertatap muka di acara-acara eksternal sekolah seperti KAPMI (Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia), atau di RMR (Remaja Mesjid Rahmah), bahkan di rumah pun aku berjumpa dengan beliau saat sesekali beliau berkunjung menjumpai kakak dan keluargaku.

Karena keaktifanku mulai meradar kemana-mana. Ikut organisasi ini-itu, di awal-awal seragam putih abu-abu dan terkenal tomboy. Aku pun di tarik untuk menjadi bagian lingkaran halaqah. HmmM... Halaqah tak asing lagi di telingaku. Karena sewaktu SMP pun sebenarnya kami sudah ada kelompok halaqah, hanya saja waktu itu namanya kelompok belajar. Apalagi sudah terbiasa ikut Rohis, yach... beda-beda tipislah itu.



Namun, aku menjalani halaqah itu dengan pasang-surut kemalasan yang berkepanjangan. Alasan pertama, Di kelompok itu, hanya aku dan seorang temanku yang beda kelas yang usianya sama. Sedangkan teman-teman yang lain adalah kakak-kakak senior kelas dua dan kelas tiga. Yang sebenarnya, wajah-wajah mereka tak asing lagi bagiku karena sudah sering bertemu saat Rohis gabungan masa SMP dan Organisasi yang tersebut di atas. Walaupun begitu, aku merasakan kecanggungan yang luar biasa.

Alasan lainnya, trauma masa SMP itu masih berbekas. Aku masih galau dalam penyebutan nama beliau. Haris panggil kak atau buk. sehingga aku memutuskan untuk muncul dan tenggelam dalam pertemuan. (klasik banget kan?)

Ditambah lagi teman pergi dan pulang sekolahku merupakan seseorang yang tak terlalu suka terlibat dalam berbagai kegiatan di sekolah. Alhasil semakin ada pembenaran yang ku lakukan kalau tiba waktu halaqah.

Dan akhirnya semua itu sirna, saat beliau datang ke rumah untuk meminta izin kepada Mamak agar mengizinkan aku ikut bersamanya. Awalnya, aku menduga kedatangan beliau pasti untuk mengadukan kemalasanku mengikuti pengajian rutin. Ternyata berbeda. Aku pun di ajak jalan-jalan dan makan oleh beliau. Tak ada sedikit pun rasa marah dan benci yang beliau tunjukkan. Beliau benar-benar menyentuhku dengan Hati, tak sekedar perkataan. (Ini juga salah satu cara yang kerap ku terapkan kepada para Mad'u)
***

Memasuki semester 3, masih dengan seragam putih abu-abu, aku pun mulai aktif mengikuti halaqah, ditambah lagi amanah yang ku emban di HIPISA (Himpunan Pelajar Islam SMAN 1 Langsa), dan juga keaktifan di Rohis. Aku mengubur dalam-dalam keegoanku untuk mencharger Ruhiyyah yang lelah oleh beragam aktivitas. Aku pun menjadi salah seorang mad'u yang sangat mencintai dan merindui pertemuan cinta itu.

Bahkan, pernah hanya ada aku dan beliau saja. Aku pun menyebutnya Liqo Intensive. Atau bertiga bahkan bertujuh kalau semuanya hadir.

Beliau kadang datang ke sekolah atau kami yang berjalan menuju rumah beliau. Kalau halaqahnya di rumah beliau, tidak ada sepertemuan pun yang tidak beliau suguhkan hidangan. Bahkan kerap menyediakan kami makan siang.

Aku semakin kagum dengan beliau. Walaupun sibuk dengan pekerjaannya dan rumah tangganya, beliau masih menyempatkan menyediakan waktu spesial untuk kami para pencari ilmu yang tak tahu berterimakasih. HmmmM terutama aku.

***

Cara beliau menyikapi masalahku.

Kelas tiga merupakan jenjang dimana kenyamanan dalam pertemanan pun harus di uji. Baik masalah Prestasi, maupun masalah percintaan. Semua berpacu untuk nafsi-nafsi meraih apa yang mereka inginkan.
Itu pun terjadi padaku. Walaupun bukan aku sepenuhnya.

Aku mempunyai seorang teman dekat dari kelas lain, dia jilbaber juga. Namun, tidak tergabung dalam Rohis maupun HIPISA. Tapi, ia selalu menjadikan aku sebagai teman curhatnya.

Dan ternyata teman sekelasku yang laki-laki marak membicarakan sosok temanku itu. Hingga ada dari mereka yang bersaing satu-sama lainnya demi mendapatkan cinta sang doi.

Karena mereka tahu, akulah teman dekat si doi, mereka pun tak sungkan berkonsultasi padaku bagaimana cara agar mendapatkan si doi dan mengoreksi informasi sedalam-dalamnya tentangnya.

Secara, aku yang sangat anti pacaran dan gak mau ngebiarin teman ku terjerumus pacaran, aku pun hanya menanggapi biasa saja. Dan aku pun menasihati si doi untuk jangan sekali-kali lari dari niat sucinya untuk tidak pacaran. Namun, kebobolan. Tanpa ku ketahui doi jadian dengan salah seorang teman sekelasku.

Shock. jelas saja. Namun, apa boleh dikata, itu pilihan dia. Walaupun aku telah menasihatinya. Aku pun tidak terlalu mencampuri lebih dalam. Membiarkannya tetap nyaman dan tidak menjauh dari ku adalah salah satu usahaku agar tetap dapat mendakwahinya sewajarku.

Eh, Jadiannya mereka justru menjadi boomerang dalam reputasiku. Ada teman sekelasku yang akhwat juga dan akhwat lainnya yang salah sangka. Tanpa tabayyun kepadaku, mereka menceritakanku ke pembina dengan tuduhan akulah yang menyebabkan temanku pacaran.

Suatu hari,a ku mendapat pesan singkat dari Murabbiku. Beliau mengundangku ke rumahnya sepulang sekolah. Dengan berjalan kaki, aku pun memutar haluan dari jalan pulang biasanya. Aku pun menuju rumah beliau. Ada rasa mengganjal. Kenapa cuma aku aja yang di undang?

Dan ternyata benar. Aku pun di sidang karena desas-sedus yang beredar.

Namun, sebelum sidang itu di jalankan. Beliau menyuguhkan aneka makanan ringan, hingga memaksaku untuk makan siang terlebih dahulu dan shalat. Usai Shalat, sambil bersantai-santai di depan tivi, barulah beliau menanyakan kebenaran itu. Tangisku pun pecah tak terbendung. Aku pun menceritakan semuanya kepada beliau. Dan ku lihat, beliau percaya dengan penuturanku. Pelukan beliau kala itu, sangat menenangkan bagiku..

Nah, itulah cara beliau yang ku suka dalam melakukan tabayyun. Padahal itu masalah yang sangat sepele sekali.

***

Kepindahanku ke Banda Aceh

Sehari sebelum keberangkatanku Ke Banda untuk melanjutkan kuliah. Beliau datang ke rumah mengantarkan surat rekom kepindahanku (HmmM.. Walaupun aku sangat merasa kecewa karena surat rekom tersebut hilang entah kemana saat aku menyerahkannya ke seorang senior. Dan hasilnya, Aku sempat terkatung-katung tanpa halaqah dalam kurun waktu yang lama). Itu adalah momen yang sangat sedih bagiku. Saat beliau berpesan, Nanti di sana tetap liqo ya dek.

Setahun pertama, setiap ada masalah aku selalu menghubungi beliau lewat nomor Hpnya. Beliau selalu menyediakan waktu untuk mendengar curhatanku yang kadang ku sadari sangat tidak penting mungkin untuk beliau dan sangat mengganggu kebersamaan beliau dengan keluarganya.

Di tahun kedua aku pun makin sering curhat. Masalah nilai yang ku dapat di kampus, Bagaimana murabbi baruku yang kurang perhatian, bahkan tentang aktivitas-aktivitas lainnya. Aku lebih nyaman bercerita blak-blakan segala masalahku dengan beliau ketimbang kakak dan abangku.

Pesan beliau yang selalu ku ingat, "Husna, semua murabbi sama. Punya kekurangan dan kelebihan. Jadi, jangan pernah membanding-bandingkan ya dek. Suatu hari nanti Husna pasti akan mengerti juga. Bersabarlah, bagaimana pun kondisinya, Itulah tarbiyah langsung dari Allah. Tetap mengaji ya dek"

Bagaimana tidak meleleh. Aku merasa terpukul dan terpacu jadinya. Walaupun sampai kini, aku belum menemukan murabbi yang perhatian dan memberikan ruang khusus untukku bercerita.

Kepergiannya. 2010

Jelang akhir ramadhan, aku sudah berada di kampung halaman. Aku mendapat berita bahwa beliau sedang di rawat di rumah sakit. Karena kepulanganku yang belum sempat ku kabarkan kepada kakak-kakak teman liqo semasa SMA, mereka pun pergi menjenguk beliau tanpa aku.

Itu sore sebelum beliau pergi untuk selama-lamanya. Kalau tidak salah itu 28 ramadhan entah 29 ramadhan. Dari hasil cerita yang ku dapat dari mereka yang pergi sore itu, saat ditanyakan "Kakak kapan pulang? Biar nanti lebaran, kita ngumpul lagi. Ada si Husna juga", beliau pun menjawab dengan senyum "InsyaAllah besok kakak udah pulang dek"

Tak ada firasat apa-apa dari mereka tentang jawaban beliau. Memang seperti lebaran yang lalu, kami punya waktu khusus untuk bertemu setiap lebaran. dan lebaran tahun 2010 menjadi lebaran terberat bagi kami, karena tidak pernah berkumpul lagi sejak itu. janji berziarah bersama pun belum pernah terlaksana.

Masih sore itu. Beliau pun berpesan kepada mereka, untuk tetap liqo jangan sampai berhenti di tengah jalan. Dan kalau bisa, teman-teman liqo yang tidak liqo lagi tetap diajak ya.

Aihhh,.. Ini orang atau apa sich.. Bukannya sore itu hawa kematian tengah menyergap dirinya. Kenapa pula beliau masih memikirkan tentang mad'unya yang sudah tidak liqo lagi? Kenapa masih mengingatkan tentang kehidupan orang lain?

Ya Rabb.. Aku tersadar dan mendapat jawaban dari semua misteri itu. Yah, pagi itu, usai sahur dan shalat subuh, Abangku menggedor kamar ku. Abang memberitahukan bahwa Murabbiku telah menuju Sang Khaliq.

Seperti langit jatuh ke bumi, aku hanya terpaku di muka pintu dan air mata terus berpacu untuk menggenangi pipi yang kemudian jatuh ke lantai. "Innalillahi wa Inna Ilaihirraji'un"

Tak butuh waktu lama, aku pun meminta kakak keempatku mengantarkan aku ke rumah beliau. Mamak pun bersikeras untuk ikut.

Ramai orang mengerubungi rumah itu, wajah yang lama tak ku temui selama merantau pun hadir kembali. Bahkan yang sedang merantau juga ke pulau seberang kebetulan pulang juga.

Aku melihat tubuh gemuk itu terbaring lemah tak berdaya. Sesungging senyum di wajahnya yang damai dan tenang. Ada wangi harum yang ku cium. Bayi keempat yang berusia 7 bulan juga ikut menyertai kepergiannya untuk bertemu dengan ketiga buah hati yang telah terlebih dahulu kembali pada Ilahi.

Yah, itulah jawaban atas balasan kebaikan beliau selama ini. Ini sungguh seperti di sinetron hidayah yang sedang ngetop-ngetopnya di tahun itu. Tapi, ini bukan ku lihat dari balik layar ajaib itu. Ini di depan mataku.
Ratusan orang pun ikut menyolatinya hingga harus berulang kali dilakukan shalat jenazah untuk memberikan penghargaan terakhir untuknya.

Dan inilah salah satu alasanku untuk terus menghadiri lingkaran cinta itu walau siapapun murabbiku. Aku harus berjuang melawan segala malas dan kebosanan yang kerap berkunjung. Selamat jalan Kakak... Selamat jalan Murabbiku... Kau inspirasiku.. Semoga kita kembali bersua di Sana. Selamat berbahagia dengan ke empat jundi-jundi yang tak sempat kau besarkan di dunia.. Uhibbukifillah Kakak :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan kenang-kenangan setelah anda berkunjung walau hanya sebait sapa.. :)

 
;