“Aku mencintaimu karena Allah.”
Itu ucapmu sore itu kepadaku.
Aku tercengang, tak mengerti
mengapa kau berani sekali menyatakan cintamu itu kepadaku. Ku fikir, ah ini
hanya candaanmu saja padaku. Karena sejak awal kuliah kita memang dekat. Dan
semakin dekat ketika kau sudah hijrah dari kehidupan lamamu dan kita
seorganisasi di kampus.
Perdebatan sore itu pun terjadi.
Aku bergegas pergi meninggalkanmu dengan membawa amarah. Namun, marahkah aku
padamu? “Agrrhhhhh aku tak tau”.
“Nin, makan yuk. Aku lapar” ajak
aisyah. Lamunanku pun buyar seketika
“HmmM… sebenarnya aku malas sih.
Belum lapar soalnya” ucapku setengah hati
“Ayolah Nin, kamu tidak kasihan
apa melihat aku kelaparan seperti ini?” rayu aisyah. Kalau sudah begini, aku
mana mungkin tidak bisa menolak ajakan teman seperjuanganku yang satu ini.
Kami pun bergegas menuju kantin
yang letaknya terpisah dengan gedung kuliah. “Kita lewat tangga ini aja ya, Ai.
Aku mau fotocopy dulu sebentar” ajakku sambil menarik lengan aisyah yang hampir
jalan lurus ke arah tangga lainnya.
“Oke sip, Neng”
Usai fotocopy kami pun
melanjutkan perjalanan menuju kantin Fakultas para raja. Fakultas Teknik. Kami
pun melewati Mushalla Baitul Bashna’. Mushalla yang menyimpan sejarah antara
aku dan kamu. Di mushalla itulah kamu mengutarakan isi hatimu. Saat itu hanya
tersisa aku, dinda dan kamu. Hanya saja saat itu dinda tengah sibuk membereskan
peralatan usai acara. Sehingga dia tidak mendengar pembicaraan kita.
Aku pun tidak berani melirik ke
jendela ruangan mungil itu. Aku memilih terus bercerita sepanjang jalan menuju
kantin dengan Aisyah.
“Kayaknya ramai di kantin Ai.
Bakalan gak dapat tempat duduk nih kita” ucapku sedikit pesimis “Bungkus aja ya
Ai. Kita makan di ruang Tugas Akhir saja” tawarku
“Tenang, Nin. Kamu jangan pesimis
gitu. Lihat tuh, si Andi dan teman-temannya sudah siap mau bangun” ucap Aisyah
Jlep.. “Aisyah tak tahu yang ku
rasakan. Aku sengaja menghindari pertemuan dengannya dan kini, dia ada di sini
dan Aisyah membawaku di keadaan yang rumit. Duhh… hati, tenanglah. Huuuuft.”
“Ai, kamu duduk aja duluan, aku
mau pesan Mie rebus dulu. Kamu pesan apa? Biar sekalian aku saja yang mesanin”
tawarku, untuk mengalihkan diri.
“Aku pesan Omelet saja. Pedas dan
pakai daging juga ya.”
Dari balik kaca etalase kue.
Kulihat kamu berbincang lama dengan Aisyah. Aku tak tahu apa yang kalian bahas.
Yang paling penting bagiku, selama kamu masih ngobrol dengan Aisyah, bagaimana
caranya aku bisa berlama-lama di samping abang penjual mie dan omelet, yang
letaknya bersebelahan.
Ya
Rabb..
Inikah
perihal hati..
Mengapa
susah sekali untuk menjaganya.
Mengapa
harus ada ruang di hati selain cinta kepadaMu
Bantulah
hambaMu ini, Ya Ilahi
Bantulah
hamba mengingatkan ia bahwa cara kami salah selama ini
Agar
ia tak merasa terlukai dan aku pun tak melukai
Karena
kami adalah saudara seiman dan seperjuangan
Yang
masih banyak amanah yang harus kami selesaikan
Setelah yakin kau benar-benar tak
lagi bersama Aisyah, aku pun menghampiri aisyah yang sedari tadi menungguku
kelamaan.
“Kamu kok lama kali memesan Mie
dan Omelet, Nin” Tanya Aisyah penasaran
“Ahh enggak, tadi lihat teknik
abang yang buat omelet.” Jawabku. Maafkan aku Ai, aku tak mungkin menceritakan
perihal ini kepadamu. Aku tak ingin kamu berfikir macam-macam tentang aku dan
Andi. Biarlah ini menjadi bagian dari kisah kami saja.
“Oya, tadi Andi nanyain kamu. Dia
bilang, besok Pak Eko ke kampus pukul 09.00 untuk bimbingan ma kalian” cerita
Aisyah
“Oh.. Oke” Ucapku sekenanya
“Kamu sama Andi kenapa Nin? Kok
tumben-tumbenan kamu bersikap dingin gini? Kan kalian satu bimbingan, dari dulu
sering barengan. Koq sekarang terkesan uring-uringan sih?” selidik Aisyah yang
mulai penasaran karena sikapku yang agak berubah.
Yah.. bagaimanapun aku menutupi,
tetap akan terbaca. Ayolah Nindi, santai dan biasa aja. Batinku
“Tidak. Gak ada apa-apa kok. Kamu
aja yang terlalu perasa. Biasalah aku lagi badmood mungkin mau dapet kali”
jawabku mencoba bersikap sewajarnya.
***
“Nin, ayoo ke ruang Pak Eko” ajak
Andi yang sudah standby menggenggam bundelan kertas yang berisikan
gambar-gambar.
“Oke, aku nyusul” jawabku sambil
menggulung gambar milikku
“Oke, aku tunggu di Jurusan ya”
tawarnya
“Sip”
“Cieeeee kompaknya ibu dan bapak
arsitek ini?” Goda Reno
“Ya donk. Mereka gak hanya teman
sayembara, tapi mereka rekan seperjuangan yang the best deh” puji Aisyah.
“Sudah-sudah. Aku mau Assistency dulu” ucapku sambil mengejar
langkah Andi
“Cie…. ciiiiieeeee” masih
terdengar suara godaan dari teman-teman
***
Banda Aceh, 17 Maret 2013
Banda Aceh, 17 Maret 2013
Assalamu’alaikumwrwb.
Af1, Nin. Maafkan aku yang tak bisa meredam perasaanku kepada kamu. Jujur, Aku
selama ini telah menyimpan rasa untuk kamu. Apalagi setelah kamu berhasil
membawaku ke kehidupan yang lebih bermakna. Mengenalkanku tentang dakwah,
tentang menjadi pribadi muslim sejati.
Aku
tahu, mungkin aku tak pantas untuk cinta kepada kamu. Aku merasa tak sebanding
dengan kamu yang telah terlebih dahulu mengeyam indahnya menjadi muslimah
sejati. Dari balutan pakaianmu, yang tak sama dengan umumnya pakaian yang
dikenakan wanita biasanya, aku menemukan ketentraman. Aku merasa ada sesuatu
yang harus ku perjuangkan dan ku jaga. Yaitu kehormatanmu.
Maafkan
aku yang terlalu cepat mengutarakan isi hati. Aku tau tak sepantasnya kata itu
ku ucapkan kepadamu sore itu. Andai saja, aku dapat menarik kembali kata-kata
itu untuk tetap berada di hati ini. Mungkin, saat ini tak ada jarak pemisah
antara kita yang begitu kentara. Mungkin kamu masih menganggapku sebagai
partner sayembara, teman seangkatan, rekan seorganisasi dan lain sebagainya.
Tapi, itulah khilafku.
Aku
mengakui kesalahanku. Karena itu, aku memberanikan diri menuliskan surat ini
untukmu, sebagai permintaan maafku kepadamu. Oya, aku telah memutuskan untuk
mengundurkan diri dari organisasi ini, karena aku merasa tak layak bila aku ada
di sana. Aku takut adanya aku di sana, dapat mengotori azzam yang mulia dari
organisasi tersebut.
Kamu
tenang saja, aku telah nyaman dalam dakwah ini. Aku tetap mengaji seperti
pesanmu untuk tetap mengaji. Kalaupun Amir tidak mengizinkanku mengundurkan
diri, aku meminta posisiku diganti menjadi anggota bidang saja, tidak lagi
menjadi ketua bidang. Dan ku harap kamu mau memaafkan aku.
Biarlah
kata “Aku mencintaimu karena Allah” kemarin tetap ada. Aku tidak mau menarik
kembali kata itu. Karena kamu juga saudara seimanku. Walaupun yahhh aku tau
konsekuensi yang berlaku.
Tetaplah
istiqamah. Tegurlah aku jika salah. Semoga persahabatan kita berkekalan.
Maafkan
aku,
Wassalamu’alaikumwrwb.
Sahabatmu,
temanmu yang dhaif
Andi
Andi
Aku masih menyimpan surat darimu.
Sekarang, lima bulan setelah kita wisuda bulan Mei silam. Kini kau kembali
mengucapkan kata cinta itu. Hanya saja kali ini berbeda dengan yang sebelumnya.
Kau nekad datang ke rumahku di kampong untuk menemui Ayah dan Ibuku. Untung
saja, ucapan itu tidak secara langsung ku dengar. Itu di sampaikan oleh ibumu
kepada ibuku. Saat kamu datang ke rumah. Dan ibukulah yang menyampaikan kata
itu.
Aku terkejut. Dan lagi-lagi aku
terkejut. Mungkin, kau memang jawaban dari hasil istikharahku. Karena entah
mengapa, aku merasa mantap dipinang olehmu. Dan orang tuaku pun mendadak
merestui lamaranmu, padahal sebelumnya tiga orang yang telah mendatangi ayah
dan ibu ditolak. Mereka beralasan, masih menginginkan aku bersama mereka,
karena aku putri bungsu mereka. Dan ketika keluargamu hadir, semua itu berbeda.
Kali ini aku tidak ikut campur.
Biarlah komunikasi antara kita terjalin lewat keluarga besar kita saja. Kau pun menyetujui itu. Tapi, orang tua
kita belum faham dan belum mengerti tentang adat dan cara yang kita pakai.
Sehingga aku pun harus meminta sepupuku Della untuk berkomunikasi denganmu.
***
“Nindi, Bagaimana persiapan
pernikahan kalian? Apa lagi yang kurang? Kapan kamu pulang ke rumah, Nak?”
Tanya ibuku
“Aku belum bisa pulang, bu.
Mungkin seminggu sebelum hari H aku bisa pulang. Untuk baju dan segala
perlengkapannya, aku percaya sama ibu aja. Aku juga sudah meminta bantuan Della
kok bu. Soal ukuran, ukuran aku dan della beda-beda tipislah, bu. Oya,
bagaimana persiapan di rumah, bu?”
“Duh, kamu ini, Nak. Yang mau
nikahan siapa? Yang repot siapa? Baiklah, Nak, jaga kesehatan ya. Bilang sama
bos mu, waktu nikahanmu nanti bosmu harus datang ya ke Langsa” Pesan ibu
“Siap ibu..” Jawabku sambil
cengengesan
“Oya, Nin. Si Andi kata ibunya
sedang di Banda Juga lho. Cobalah kamu tanyai kabarnya.” Perintah ibu
“Hah.. iya bu, nanti Nindi suruh
tanyai sama, Della” ucapku ceplos
“Waduh.. kamu ini. Calon suami
siapa? Yang perhatian siapa? Hati-hati Nin, nanti Della pula yang kecantol
dengan Andi.” Omel ibu panjang lebar sambil bercanda. Ibu tau, tak mungkin
Della begitu. Kalaupun terjadi, biarlah. Berarti dia bukan jodohku. Bisikku
dalam hati demi menjaga interaksi.
Belum lama panngilan dari ibu
berakhir, hp-ku kembali bordering. “Wahhh.. Mamanya Andi?, Ya Rabb.. apa yang
harus ku lakukan. Kalau Ibu sih, aku bisa berterus-terang, kalau Della yang
berkomunikasi selama ini dengan Andi. Tapi? Kalau mamanya Andi?.. hadeuhh”
“Assalamu’alaikumwrwb. Iya,
tante” Sapaku
“Wa’alaikumsalamwrwb. Nindi,
sehat, Nak? Bagaimana, apa yang belum di beli? Tante sudah nitip uang ke Andi,
kebetulan dia di Banda sekarang. Untuk isi parcelnya, kamu aja yang beli,
sesuai permintaan kamu. Biar pas dan gak salah. Andi sudah hubungi, Nindi?”
pertanyaan dari ibunya Andi sangat keibuan.
“Alhamdulillah sehat, Tante.
Tante sekeluarga sehat juga kan?. Iya tante, Nindi sudah tahu kalau Andi di
sini. InsyaAllah nanti Nindi ketemuan dengan Andi” jawabku
“Oh, iya, kalau kamu belanja.
Minta saja Andi temanin. Biar gak berat. Satu lagi, Nindi, harus membiasakan
diri manggil abang, atau apalah. Jangan panggil nama lagi. Kan kalian mau
menikah dua minggu lagi” pesan Tante Mila
“hhe.. iya tante” jawabku
cengengesan.
***
Duhai
maha mencintai
Benarkah
langkah hamba ini engkau ridhai
Apakah
aku tidak salah
Aku
takut, bila pernikahan ini menjadi fitnah bagi dakwah ini
Walupun
aku juga mencintai dia
Tapi,
aku mencintai dia karenaMu
Dan
aku mengutarakannya hanya kepadaMu semata
Aku
takut karena aku dan dia adalah teman dekat
Sehingga
takut mereka beranggapan bahwa selama ini kami pacaran
Padahal
engkau tahu
Bahwa
aku dan dia adalah teman seangkatan
Yang
tak bisa ku pungkiri
Interaksi
kami pun sangat intens
Tapi,
dalam organisasi itu
Kami
benar-benar menjaga diri
Sebisa
mungkin menjaga interaksi
Apakah
kami termasuk munafik, Ya Rabb?
Di
sisi lain dengan riangnya kami bercanda
Namun
lain sisi, kami begitu rapt menjaga diri
Ya
Rabb.. jika ia memang yang patut ku cintai karenaMu
Izinkanlah
hamba mencintai dia karena Mu
Agar
kami dapat sama-sama memperbaiki diri
Atas
seciul niat berbuat dosa yang ada dalam hati
Ya
Rabb.. Tinggal 9 hari lagi
Hilangkanlah
keraguanku untuk menyempurnakan dien
Hilangkanlah
keraguanku atas sangkaan yang akan muncul
Bantulah
hamba menjawab dengan tenang, bila sangkaan itu datang
Ya
Rabb..
Cinta
itu tumbuh dengan sendirinya
Semakin
dekat Hari itu
Semakin
rasa ini bertambah tebal 1mm
Bantulah
hamba untuk terus menjaga diri dan hati
Hingga
sampai hari yang di nanti
Dan
di hari itu,
Aku
juga akan mengutarakan isi hatiku padanya
Bahwa
Selama
ini aku pun juga ‘Mencintainya karena Engkau, Ya Allah’
Dan
Egoku selama ini
Adalah
caraku untuk menjaga cinta yang ada dalam hati
Agar
sampai ke hatinya di waktu yang tepat
Waktu
yang telah engkau jadwalkan untuk aku dan dirinya.
Aaamiin
Ku tutup mlamku dengan panjatan
do’a. Yah, tak perlulah kita berkomunikasi saat ini, biarlah kita menyibukkan
diri dekat dengan Allah. Dan biarlah Allah yang menggerakkan semuanya, melalui
perantara orang-orang terkasih di sekitar kita. Agar cinta yang tumbuh dan
tumbuh ini akan mekar pada hari bahagia.
***
“Cut Nindy Kautsaria binti Abdul
Ghazali, Aku mencintaimu karena Allah” Bisikmu saat di pelaminan
Seerrrr… Ada getaran yang
menyelinap masuk dalam hatiku. Aku tak bisa menutupi semunya wajahku yang malu.
Kau pun seakan tahu itu. Dalam genggaman tanganmu kini, aku merasakan kedamaian
dari untaian kata cinta yang hakikatnya indah. Berbeda dengan ucapan cintamu
sebelumnya, yang membuat diriku resah dan gundah. Karena saat itu, kau belum
menjadi bagian dari hidupku yang direstuinya.
“Aku juga mencintaimu karena
Allah, Bang” saat itu, mata kita beradu pandang. Panah-panah iblis tak mampu
lagi merasuki hati kita. kini hujan pahala yang kita tuai. Senyummu begitu
indah dan menyejukkan. Aku sangat, sangat dan sangat merindui senyumanmu yang
sempat hilang karena kejadian sore itu, Bang.
Kini kau tak lagi teman
seperjuanganku, teman seangkatanku. Tapi kau kini telah menjadi Imamku. Imam
yang menuntunku menggapai cintaNya.
Ucapan selamat bertubi-tubi
datang, mereka sangat bahagia mengetahui aku dan bang andi kini telah resmi
menjadi pasangan suami-istri. Aku sangat salut dengan kesungguhannya. Di
usianya yang terbilang muda, ia menyelamtkan hidupku dari fitnah dunia dengan
mengajakku menikah.
Yah,
Aku benar-benar mencintaimu karena Allah, duhai suamiku
Wahai
Ilahi Rabbi yang Maha mencintai
Terimakasih
kau telah menghimpun kami menjadi Satu
Kokohkanlah
kami
Balutlah
kami dengan cintaMu
Agar
cinta kami tak menutupi cinta kami kepadaMu
Ya
Rabb..
Cinta
yang halal memang berbeda rasa dengan yang bukan
Terimakasih
ya Rabb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan kenang-kenangan setelah anda berkunjung walau hanya sebait sapa.. :)