“Rugi
jadi Anak Aceh, tapi belum keliling Aceh Sha. Udah ikutan Baksos terus”. Ujar
seorang teman yang juga merupakan rekan kerja di organisasi kampus. Alfi.
“hmmM,
kamu bilang begitu bukan karena kamu lagi maksa aku ikut baksos kan Al?”
tanyaku pada lelaki yang tengah sibuk menunggu lembar demi lembar yang meluncur
dari mesin printer.
“yeee
GR kamu sha. Ngapain juga aku maksa kamu ikut baksos? Lagian kalau pun kamu
ikut, toh kamunya gak se-team
denganku.” ledek Alfi
“Nih,
jilid proposalnya.” Lelaki berkacamata itu pun menyodorkan lagi setumpuk
proposal yang harus ku jilid.
_Wahai Ayah dan Ibu, dengarlah
rintihan anakmu, bimbinglah diriku ini, di jalan yang penuh berliku_ terdengar
deringan nada telepon dari dalam tas yang menghentikan perhatianku pada proposal
yang disodorkan Alfi. Aku pun memberi kode pada tia untuk membantu Alfi
menjilid proposal baksos itu.
“Hallo,
Assalamu’alaikum Bah” sapaku pada sosok lelaki disana saat ku angkat telepon
itu
“Wa’alaikumsalamwrwb.
Kiban[1] dek,
sehat?” Tanya Suara lelaki di seberang sana yang ku panggil Abah[2]
“Alhamdulillah
sehat bah. Abah kiban, sehat?” jawabku, yang kemudian balik bertanya tentang
kabar Abah
“Alhamdulillah
Abah dan mak sehat. Jadi pergi baksosnya dek?” Tanya Abah
Hah,
aku terperanjat mendengar pertanyaan Abah. Bukannya telepon sebelumnya Abah tak
setuju kalau aku ikut baksos. Jangan-jangan ini adalah sinyal Abah mulai
mengizinkanku. Aku pun langsung menjawab “Jadi Bah, insyaallah malam minggu ini
berangkat. Adek boleh pergi kan Bah?” aku mencoba memastikan kembali apa
putusan yang akan diberikan Abah.
“Iya,
Abah izinkan. Pergi aja. Hati-hati, jaga diri baik-baik disana. Ingat, jangan
sembarangan di kampung orang. Kalau gak ada uang biar Abah kirimkan besok.”
hmmM.. pernyataan Abah itu sangat
menentramkan hatiku. Menjawab semua kegalauanku yang diamanahkan menjadi
Koordinator divisi Keagamaan di Baksos ini. Memang Abah itu sangat bijaksana. Batinku
“Siap
komandan! Makasih banyak Bah, gak usah kirim uang lagi Bah. InsyaAllah masih
ada uang jajan kemarin. Lagian semua akomodasi ditanggung pihak kampus.”
Jawabku sebelum telpon ditutup oleh Abah.
Aku
pun berjalan menghampiri Tia dan Alfi yang kini tak lagi menjilid Proposal tapi
telah beralih membantu teman-teman yang lain mengemas-ngemas barang yang akan
dibawa baksos.
“Bahagia
banget Sha, kelihatannya. Cieee telpon dari siapa?” Goda Raihan ketua BEM yang
juga merupakan teman seangkatanku di Jurusan Arsitektur.
“Hhaa..
Alhamdulillah aku diizinkan ikut baksos. Jadi mari kita semangat.” Ucapku
sangat bahagia dan menggebu-gebu
“Alhamdulillah”
semua pun meng-koor-kan kalimat hamdallah
***
Sejak
pukul dua dua siang semua relawan sudah standby
di rumah peradaban kampus. Yah kami menyebut itu untuk kantor BEM Unsyiah.
Ruangan yang merupakan bagian dari gedung Gelanggang Mahasisawa yang menjadi
pusat beragam kegiatan mahasiswa Unsyiah.
Semua
barang yang akan di bawa sudah dibagi sesuai dengan daerah baksos yang telah
ditentukan. Ada 3 titik. Yang pertama itu, daerah Burlah kecamatan Ketol,
Takengon. Aceh Tengah. Yang kedua dan ketiga, di pedalaman Meulaboh, Aceh Barat. Dan kebetulan aku masuk
dalam bagian daerah pertama. Yaitu takengon. Yang dipimpin oleh Koordinator
Titik alias KorTik Rian Septiandri dan Cut Kayla. Sedangkan Alfi Pratama dan
Delia Nabilla memimpin titik dua. Dan untuk titik tiga dikomandoi oleh Herman
Ramadhan dan Syafa Az-zahra.
Rencananya
Pukul 16.30 Bapak Rektor akan melepas keberangkatan kami untuk mengabdi dalam
rangka menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang kegiatan ini merupakan
kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh BEM Kampus selain dari agenda KKN
(kuliah Kerja Nyata) yang merupakan mata kuliah wajib yang ada di kampus.
***
Jujur
ini merupakan perjalanan pertamaku ke Kota yang sering dijuluki Negri di Atas
Awan. Karena kota yang membuat para pendatang ingin berkali-kali ke tempat ini,
merupakan kawasan daratan tinggi yang hanya sejuknya mampu membuat gigi kita
gemetaran, setiap bulu itu tegak berdiri karena dinginnya kota ini.
Walaupun
Takengon merupakan bagian dari Aceh, tapi bahasa yang digunakan tidaklah sama
dengan bahasa Aceh secara umumnya. Keanekaragaman bahasa di Aceh menjadikanku
kadang merasa terasing dengan teman-teman yang dari beragam daerah. Misalnya
saja, saat aku berbicara dengan teman-teman dari Aceh Ghayeuk (Aceh Besar),
mereka kadang tertawa dengan logatku yang menurut mereka tidak ke-Acehan,
walaupun mereka mengerti apa yang aku ucapkan.
Konon
lagi dengan bahasa jamee, bahasa Gayo. Jelas aku sama sekali tak bisa
melafazkan dan mengingatnya dengan cepat apalagi mengerti apa yang mereka
maksud. Bersyukur, sebelum berangkat aku sempat belajar sepotong-sepotong
bahasa sehari-hari dari teman sekosanku. Hana
Keber[3],
Gere Beteh[4],
Ara[5],
Jroh[6],
Enti kiroh[7]
dan beberapa kosa-kata lain yang sempat ku hafal. Setidaknya samapai disana aku
bisalah memulai percakapan dengan warga disana.
HmmM..
Aku masih mengingat beberapa cerita dari Nikite adik kosanku. ”kak Ayyasha,
sebenarnya desa yang kakak kunjungi untuk baksos itu desa yang termasuk kuat magicnya lho kak. Makanya agak hati-hati
ya kak disana. Jangan terlalu dekat-dekat kali dengan warga nanti gak dikasi
pulang lagi takutnya kak”
Sebenarnya,
bukan pertama kali aku mendengar cerita seperti itu, dipembekalan awal untuk
menjadi relawan baksos sudah sering senior-senior menceritakan hal tersebut.
Namun, yach setiap daerah mempunyai cerita mistisnya masing-masing disamping
sudah berkembangnya teknologi.
Aku
melirik Mirna yang duduk disampingku telah terlelap dalam liukan jalan yang
curam. Wah gelap sekali jurang dibawah sana. Dari sorotan lampu mobil belakang
aku melihat jurang yang cukup dalam. Bila tak hati-hati mengemudi dan
memperhatikan pembatas jalan, bisa-bisa mobil ataupun kendaraan yang lain bisa
melayang terjun bebas ke bawah.
***
Pukul
04.40 kami telah sampai di Mesjid Raya Ruhama yang berada di pusat kota
Takengon. Disebelah kanan Mesjid, berdiri bangunan megah yang berfungsi sebagai
pusat pemerintahan di Kabupaten Aceh Tengah ini.
Selapis
jaket tak mampu menghangatkan badan dari dinginnya kota ini. Aku membuka koper
untuk mengambil sebuah jaket lagi. UhhmmM.. gemeretek gigi tak karuan, asap
mengepul kejar-kejaran keluar dari mulut. Wow.. ini tak sebanding dengan
dinginnya di Brastagi.
Azan
Subuh mulai berkumandang, tapi kaki masih saja enggan beranjak ke kamar mandi.
Apalagi mendengar keluhan teman-teman yang sudah duluan ke kamar mandi, rasanya
ingin bertayamum saja untuk shalat subuh. Namun ku paksakan kaki melangkah ke
kamar mandi. “huhuhuhu dingin sekali” ucapku. Tak ada niatan untuk berlama-lama
di kamar mandi.
Usai
shalat subuh, kami masih lontang-lantung di seputaran Mesjid Ruhamah. Karena
pukul 09.00 kami baru disambut oleh bapak bupati untuk mendapat izin dan petuah
sebelum berangkat ke Kecamatan Ketol, tepatnya Desa Burlah.
Dari
hasil penjelasan pak bupati, Ketol itu berarti cacing. Entah karena dulu banyak
ditemukan cacing sehingga desa itu diberilah nama ketol atau ada alasan lain.
Yang pasti saat itu aku sedah larut dalam dinginnya kota ini, ditambah dengan
dinginnya pendingin ruangan yang dipasang di ruang ini, sehingga semakin
menggigillah aku yang tak terbiasa berada di daerah bersuhu dibawah 15derjat,
jadi aku tak mendengar secara gambling penjelasan pak bupati. Yang jelas
sebentar lagi kami akan dibawa ke desa burlah.
***
Ini
merupakan pemandangan yang bagus. Kami seperti diangkut ke langit. Di bawah
sana terhampar rumah-rumah penduduk, danau laut tawar yang terkenal itu bisa
kami nikmati dari atas bukit yang berkelok-kelok. Wewangian pakis hutan yang
tumbuh dipinggiran bukit menambah kesan alaminya desa ini.
Sekitar
enam jam dari kota takengon menuju desa burlah. Jalan yang belum teraspal,
ditambah lubang dimana-mana membuat kami mengalami guncangan hebat didalam
mobil. Sesekali terdengar jeritan dari belakang “Aduhhhhh!” Ternyata tumpukan
tas yang bertingkat sesekali berjatuhan menimpa mereka yang duduk di belakang.
“Ini
dia desa baksos kita, nah yang bagian pendidikan, sekolah ini jadi markas
kalian.” Jelas Rian.
“Wah,
sudah ada jembatan rangka baja ya disini” ucap deni selaku coordinator
infrastruktur takjub.
“Nah,
itu rumah Pak Reje” Tunjuk Rian
“Hah..
Pak Reje?” Tanya kami semua serentak
“hehe,
Pak Reje adalah Pak Geuchik” Jelas Rian sambil senyum-senyum.
Kami
hanya mengangguk-ngangguk sambil membulatkan bibir dan mengeluarkan bunyi oooo
secara serempak dan panjang.
Semua
warga telah ramai memenuhi pekarangan pak reje alias pak geuchik. Yang
wanitanya dengan memakai sarung yang memilit pada pinggang sebagai rok, dan
kain panjang yang dililit di leher untuk menutupi kepala layaknya kain yang
dipakai pemangkul kayu. “wahh sangat sangat jauh tertinggal” batinku
Semua
barang diturunkan di rumah yang tak jauh dari rumah pak geuchik. Rumah kayu
yang masih beralaskan tanah. Rumah ini yang akan ditempati oleh relawan
laki-lakinya. Sedang kami harus mendaki keatas kira-kira memakan waktu tempuh
10 menit berjalan kaki. Dengan memapah barang yang beratnya minta ampun
akhirnya kami berhenti di sebuah mushalla mungil yang tampak seperti tak
terawat. Aku jadi ingat kata Rian sebelum aku mendaki ke atas. “Disebelah kanan
nanti ada sebuah mushalla. Itulah basecamp
kalian, bidang kerohanian”.
“Nah
ini dia rumah kakak. Kalian boleh istirahat disini” ucap kak Dauriah adiknya
pak geuchik. “Ini anak kakak, Dea” ia mengenalkan anak kecil berumuran 3 tahun yang
baru saja pulang bermain.
Di
Rumah tipe 36 inilah kami tinggal. Rumah ini lebih elit dari rumah yang lain,
karena ini satu-satunya rumah permanen. Rumah bantuan karena adiknya pak
geuchik seorang janda yang tak punya tempat tinggal. Untuk 7 hari rumah ini
dihuni oleh dua puluh orang. hmmM bisa dibayangkan gimana rasanya kan?
***
Sudah
empat hari kami disini. Kembali ke alam. Untuk mandi kami harus menempuh waktu
5 menit menuruni bukit ke sungai. MCK yang tak ditemukan disini. Sehingga
relawan yang laki-laki membuatkan MCK seadanya untuk kami. Sinyal telepon yang
susah. Untuk berkomunikasi dengan teman-teman di luar daerah dari penginapan
relawan yang perempuannya mudah. Tapi untuk menghubungi relawan laki-lakinya
dibawah sangat susah. Ditambah listrik yang kalau malam tidak hidup.
Benar-benar hidup seperti di kota mati.
Seperti
beberapa hari sebelumnya, setelah mushalla ini kami hidupkan kembali
aktivitasnya. Usai shalat magrib berjama’ah aku dan teman-teman kerohanian
mengadakan belajar mengaji untuk ibu-ibu dan bapak-bapak. Sedang untuk
anank-anak pukul 14.00-18.00 kami membuat TPA. Entah mengapa malam ini aku
merasakan keanehan.
Kak
Dauriah tiba-tiba pamit pulang. Wajahnya tampak pucat, ia buru-buru pulang ke
rumah ditemani nana yang juga ingin mempersiapkan makan malam.
Usai
Shalat Isya berjam’ah, aku pun bergegas pulang. Aku pun menghampiri kak Dauriah
yang sedang tidur di kamarnya. Ditemani Cut Kayla, aku mencoba membangunkan kak
Dauriah. “Kak, kenapa sakit ya?” tanyaku
“Iya
dek, badan kakak sakit” ucapnya lirih
“Sini
kak biar Ayyasha urut” tawarku
Entah
mengapa aku memberi tawaran itu. Padahal aku sangat malas untuk mengurut orang
lain, karena biasanya setelah urut orang lain maka badanku lah yang sakit-sakit
akhirnya.
Kak
Dauriyah pun mengangguk tanda mau ku urut. Sambil bangun, tiba-tiba ia
menangis. “Dek, badan kakak sakit semua rasanya. Malam kemarin kakak bermimpi,
badan kakak di potong delapan bagian.” Ia bercerita sambil terisak-isak.
“Iya
kak, gak apa-apa. Itu cuma diganggu setan aja kak” jawabku mencoba menghibur
“Enggak
dek, abis mimpi itu badan kakak sakit semuanya. Dan yang potong badan kakak itu
pak Sobran” cerita kak Dauriah penuh keyakinan
“Hah,
pak sobran?, gak mungkin pak sobran tega kak ngelakuin itu. Pak sobran sangat
baik kak, beliau yang membantu kami membereskan mushalla diawal kedatangan
kami” lagi-lagi aku mencoba membuatnya tenang
“iya
dek, bapak itu jahat. Ia dukun di kampong ini”
“hah,
gak mungkin ah kak, itu hanya kerjaan setan aja kak untuk mengadu domba kakak
dengan pak sobran. Sini kak biar Ayyasha urut” paksaku
Diantara
tangis kak dauriah yang ku dengar seketika pikiranku mengajakku untuk mengingat
saat-saat berkenalan dengan pak sobran pagi pertama kami tiba di desa ini.
Lelaki paruh baya yang tak banyak bicara namun disukai oleh anak-anak TPA ini
sangat rajin shalt berjamaah dengan kami para relawan. Bahkan bisa dibilang,
beliaulah orang pertama yang membantu team kerohanian membenahi mushalla kecil
itu.
Raut
wajahnya memang mengerikan. Bopeng-bopeng diwajahnya membuat ia terlihat
menyeramkan memang. Tapi aku masih tidak percaya beliau itu dukun seperti yang
diceritakan kak dauriah.
Sambil
mengurut kak Dauriah, aku menyelipkan Al-fatihah dan beberapa potongan ayat
serta zikir dengan pelan. Hanya terlihat komat-kamit dari mulutku. Belum
apa-apa kak Dauriah sudah lelap tertidur. Mungkin karena pijatanku yang enak
ya. Batinku dengan sedikit memuji diri.
“Sha,
kok tidur? Jangan-jangan ini bereaksi” ujar Kayla
“hah,
reaksi gimana la?” tanyaku bingung
“kamu
ngurut sambil ngaji kan?” selidik kayla
“he
eh.. aku bacain Al-fatihah dan Surat Al-baqarah” jawabku
“Nah,
kayaknya ini memang unsur guna-guna Sha. Kamu berani menruqyah beliau” Tanya
kayla mencoba memastikanku
“Apa
boleh dikata. Aku berani-berani aja, tapi kamu berani gak? Gak mungkin aku
sendirian” jelasku
“yaudah,
bangunin aja dulu kak Dauriahnya. Suruh wudhu dulu. Aku bangunin teman-teman
yang lain, biar kita bawa kak Dauriah ke ruang tamu aja.”
“kak,
bangun kak.”
Tak
perlu lama-lama membangunkannya. Aku pun langsung membantu mendudukkan kak
Dauriah. “dek, badan kakak sakit” ucapnya sambil menangis
“Iya
kak, iya.”
“dek,
panggil pak geuchik, panggil pak geuchik. Sakit x badan kakak. sakit”
perintahnya sambil meraung-raung
Aku
mencoba tak menggubrisnya. Yang ku tahu nana sedang sibuk menelpon. Entah siapa
yang ia telpon. Yang pastinya relawan laki-laki yang ia hubungi. Aku tetap
merapalkan segala bacaan yang aku hafal. Tiba-tiba kak Dauriah menatapku tajam.
Kemudian ia muntah seketika dikamarnya.
Ditengah
raungannya yang mulai marah, kami membopohnya keluar. Aku pun menginstruksikan
kepada semua relawan perempuannya untuk mengaji. Bagi yang tidak bisa mengaji
atau lemah bulunya, ku anjurkan mereka untuk tetap berzikir dan jangan terlalu
panik.
Tak
butuh waktu lama, dan toa mushalla untuk mendatangkan warga. Warga telah
berkumpul mengerumuni rumah kami. Ada yang mulai membaca-baca mantra, membawa
sesajen dan lain-lain sebagainya. Entah mengapa aku merasa sangat geram melihat
tingkah warga yang lain. Aku pun memberanikan diri berkata pada mereka. “pak,
bu, biar saya dan teman-teman saja yang mencoba mengobati kak Dauriah”.
Ku
lihat ada mata-mata kecewa dari tatapan mereka. Namun, bismillah saja. Tak
boleh ada pengotoran aqidah di Aceh.
Kak
Dauriah mulai meraung-raung kesakitan. “keluar kamu dari tubuh manusia ini!”
bentakku
“aku
gak mau keluar. Hahahaha” ucapnya dengan tawa pongahnya
“kalau
kamu gak mau keluar, dengan izin Allah aku akan membakar kamu dengan ayat-ayat
Allah ini” tegasku
“Iyaaa…
panasssssss… aku keluar”.
“cepat
kamu keluar!!!!”
Aku
pun tak sendiri. Rizki yang berhasil dijemput oleh warga ikut membantuku
mengobati kak Dauriah.
“Kenapa
kamu mengganggu wanita ini?” Tanya Rizki
“Aku
benci dengan dia. Dia terlalu baik dengan kalian”
“Ki,
gak usah Tanya-tanya lagi ki, banyak sekali kebohongan dia. Berkali-kali mau
keluar tapi buktinya gak ada. Yook kita baca aja terus” ajakku
“Tidaaakkkk…
Ampuuunnnn… Akuuuuu keluar.. uhhhhhhhhh.. panasssssssss”
“Iyyaaaaaa
aku mau keluar, tapi aku gak mau keluar. Di situ ada yang nunggu” ia menunjuk
kearah pintu dapur
“Ikuti
aku. Asyhadualla ilaahaillalah Wa
Asyhaduanna Muhammadarrasulullah” tuntunku
“Asyhadualla ilaahaillalah Wa
Asyhaduanna Muhammadarrasulullah” Ia pun mengikuti
ucapanku
“Nah,
sekarang kamu sudah muslim. Kamu gak boleh takut kepada makhluk. Kamu hanya
boleh takut kepada Allah pencipta makhluk. Jadi kamu harus keluar dari tubuh
ini. Aku tak akan memnita kamu untuk kembali ke empunya kamu. Sekarang kamu itu
harus taat kepada Allah. Jangan mau dijadikan pengganggu manusia oleh tuanmu.
Bacalah Ayat Kursi dan hadapilah dia yang menghalangi kamu. Kami akan membantu
dengan Ayat-ayat Allah juga” ucapku panjang lebar.
Ia
pun mengangguk.. “………………………………………………...Wala
yaudhuhu hifzuhuma wahuwal ‘aliyyul ‘adzhim. Allahhhhhhu Akbar”
“Dia
udah gak ada lagi. Aku pamit pulang ya” ucapnya sambil menyalami kami satu
persatu. Aku pun menyuruh teman-teman untuk melepaskan tangannya. Ia pun
mengatupkan kedua tangannya yang tadi terentang ke dada, kemudian
mengarahkannya ke arah kaki. Dan kemudian ia benar-benar keluar.
“Alhamdulillahirabbil’alamin” ucap kami
serentak
Benar,
badanku langsung sakit-sakit. Karena masuk angin. Akhirnya aku pun harus
muntah-muntah. Rizki menatapku, “kamu gak kerasukan juga kan Sha?” Tanya rizki,
ia tampak sangat khawatir.
“HmmmmM”
Aku hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Syukurlah”
Ucapnya
“Kami
akan nginap di mobil. Kalau ada apa-apa panggil kami ya“.
Aku
hanya sanggup mengangguk saja. Sepertinya aku benar-benar sangat letih. Aku
sangat sedih, di Sudut Negri yang dijuluki sebagai Negri di Atas Awan atau pun
kota dingin ini, ternyata benar, masih banyak mistik yang ada disini. Ahh
Inikah Bagian dari Aceh. Setidaknya aku telah tahu masih ada hal-hal semacam
ini.
***
Ini
adalah hari ketujuh di desa ini. Kami pun harus segera kembali meninggalkan
kota dingin ini, dibekali beberapa hasil kebun oleh warga yang telah dibagi
rata. Ada tangis yang tak bisa dibendung. Lima hari penuh kami bersama di
kampong ini. Kampong yang menyimpan sejuta misteri. Dan hingga hari ini aku
belum melihat sosok tua yang pertama kami temui itu. Yah pak sobran. Kemanakah
Beliau? Mungkinkah beliau pelakunya? Ahh tidak mungkin.
Saat
aku mau masuk ke Mobil, dari depan rumah pak geuchik, aku melihat pak sobran
berdiri di halaman mushalla yang tampak dari bawah. Ia menatapku tajam dari
ketinggian. Ahh ini bukan Negri diatas Awan lagi bagiku. Ini Desa 1001 Misteri
lebih tepatnya.
Deru
mobil menjadi penanda bahwa kami telah meninggalkan desa ini. Dan aku masih
berharap suatu saat bisa kembali ke desa ini untuk membenahi aqidah mereka.
Selamat tinggal Desa kecil yang hanya memiliki 28 KK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan kenang-kenangan setelah anda berkunjung walau hanya sebait sapa.. :)